Syekh Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur
di Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap tahun
oleh umat Islam Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya
Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat cerita-cerita karamahnya
dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari pro dan kontra atas kebenaran
karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya sering dibacakan dalam majelis yang
dikenal di masyarakat dengan sebutan manaqiban.
Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki
Dusat al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang
Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat ini disebut juga
dengan Jaylan dan Kilan.
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a., puteri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin sekaligus Huseiniyin.
MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar lebih baik, apa yang disebut ‘pengalaman-pengalaman mistik’. Ketika berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang
ruhaniah dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi
ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama’ besar di masa kini, telah
menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al Qur’an bagi orang
semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang terjadi
pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya
yang sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan
pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal. Uang ini
adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa
sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya berpesan agar jangan
berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk senantiasa mencamkan
pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah
segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak
memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin. Kebetulan salah
seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang atau tidak. Ingat akan
janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab: “Ya, aku punya
delapan puluh keping emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu saja
para perampok terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan
jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah
delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok
terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara dia dan ibunya pada
saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan tak bermakna
upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh
terduduk di kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan.
Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya. Peristiwa ini
menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka keberanian
kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.
BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang,
meski harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering
menjumpai orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka. Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan
Hadhrat Hammad, seorang penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.
Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir.
Hadhrat Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya
sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini menerima
semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.
LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur’an suci. Shalat sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa berwudhu lagi, karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur’an dalam
satu malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan
manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin
berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia tinggalkan Baghdad,
dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan dari Baghdad. Selama sebelas
tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya
latihannya. Ia menerima nur yang dicarinya. Diri-hewaninya kini telah
digantikan oleh wujud mulianya.
DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang
membawanya ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya
kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya, bila
ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban beliau,
sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan suatu peristiwa
perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau
kukuh berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan
musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan, harta
dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban beliau: “Aku sama
sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku telah diutus oleh Allah
sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia, menyampaikan risalah-Nya kepada
kalian. Jika kalian menerimanya, maka kalian akan bahagia di dunia ini dan di
akhirat kelak. Dan jika kalian menolak, tentu Allah akan menentukan antara
kalian dan aku.”
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat
kemaujudan duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang
Syaikh Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis
menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia membawa
Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si
Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi selain Nabi
Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain, katanya: “Baiklah Abdul
Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.” “Enyahlah!,
bentak sang wali.” Jangan kau goda aku, bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat
Allahlah aku selamat dari perangkapmu”.
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba
belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan menggumpal di
angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan dahaganya. Muncullah sosok
terang di cakrawala dan berseru: “Akulah Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala
yang haram.” Sang Syaikh berucap: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk.” Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan
terdengar berkata: “Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari
tipuanku.”
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam
mengenalinya. Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang
haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan dari
Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan
secara perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam perjalanan
ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan
kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan setelah
berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang layak menjadi
pemimpin sejati manusia.
PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin
menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena dalam
pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan upacara-upacara
keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia
melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di Baghdad,
yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi jalan, menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya
untuk membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan
tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang Syaikh
terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: ” Akulah agama
kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah telah menyehatkanku
kembali melalui bantuanmu.”
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan
menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan,
menamainya Muhyiddin, ‘pembangkit keimanan’, gelar yang kemudian dipandang
sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia tinggalkan
kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum. Selama sebelas tahun
berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan meneruskan praktek-praktek
peribadatan, yang kian mempercerah ruhaniyah.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak – dua puluh putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya,
al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat, ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara, dan demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar. Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits. Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad, sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali, diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz, dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari, ia mengajar tentang Tafsir Al Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam, karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk makan malam bersama. Sesudah sholat Isya’, sebagaimana kebiasaan para wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu malamnya dengan beribadah kepada Allah – suatu amalan yang dianjurkan Qur’an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
Pengaruh dan Karya
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini
membuat Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan,
bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap disiplin ilmu,
karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi. Bahkan, sepertinya
perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang dibutuhkan masyarakat
justru saran seorang yang bisa meluruskan yang bengkok dan membenahi kesalahan
masyarakat saat itu. Inilah yang memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang
menjelaskan pada kita mengapa tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai
tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1.Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang
mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Karya
ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya bahasanya, dengan karya
al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip
suluk. Ia memulai dengan membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika
Islam, etika doa, keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian
membincangkan juga anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal,
dan akhlak yang baik.
2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis (transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada 62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai 90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan yang muncul pada forum pengajian itu.
3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212 halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh. Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud
ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa
kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar
Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan,
‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh
Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh
Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh
Abdullah at-Tustari, dan
Syekh Abdul Qadir
Jailani.”

Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh
Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi
yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam kitabnya Risalatul Mu’awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia
tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya
tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun di saat
kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu
meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba
saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga
membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qadir, lalu
masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan
beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun, bahkan beliau tak menghentikan
ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang
yang tawakkal dan memiliki karamah.
Ibnu Rajab juga berkata, “Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki
pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan
ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah
Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab
Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak
berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah
sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. “
Al-Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”
Al-Dzahabi juga berkata, “Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi.”
Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama. Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik, mengajar, dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul
Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan
berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza wa
Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu percaya pada
selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah. Bertauhidlah! Bertauhidlah!
Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at,
dan Ridho allah swt, syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah khushushon
Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita, keluarga dan anak
turun kita semua Dunia – Akhirat. Amien
Diambil dari berbagai sumber
Diambil dari berbagai sumber
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah
penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
(Dari berbagai sumber)
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Biografi /
Tokoh
dengan judul Syekh Abdul Qadir al-Jaylani. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://sulhan-gallery.blogspot.com/2012/12/syekh-abdul-qadir-al-jaylani.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Chord - Saturday, 1 December 2012
Belum ada komentar untuk "Syekh Abdul Qadir al-Jaylani"
Post a Comment